Simalungun, hetanews.com - Semenjak kehadiran Pabrik Kepala Sawit (PKS) CV Rapi Tehnik membuat warga di Huta III Nagori Pematang Asilum, Kecamatan Gunung Malela mengeluh.

Ini dialami warga yang rumahnya persis bersampingan dengan lokasi pabrik. Ada 6 unit rumah di lokasi dimaksud.

Amatan hetanews di lokasi, tembok beton setinggi 5-7 meter dan jalan masuk ke pabrik selebar ukuran mobil truk, memisahkan pemukiman mungil itu dengan mesin boiler. Rumah tersebut adalah ‘jantung masalah’ atas dampak yang ditimbulkan pabrik kepada warga.

Pemukiman mungil ini adalah ‘tetangga pabrik’ yang merasakan langsung seluruh ancaman mematikan dari pencemaran lingkungan yang dibuat pabrik. Semua nyata di sini. Air yang dipakai sehari-hari kecoklatan, udara segar tidak pernah ada, bau tak sedap tetap melekat di hidung, hingga suara bising yang ditimbulkan pabrik.

Syarif Purba (74) pria lanjut usia yang tinggal di rumah reot miliknya di Huta III Nagori Pematang Asilom sudah hampir menyerah. Kondisi fisiknya yang sakit-sakitan ditambah hidup sebatang kara membuat dirinya pasrah menerima kenyataan.

Saat itu, kakek renta sedang duduk di depan pintu memandangi tembok pabrik. Piring kaleng, sendok dan cangkir diletakkanya diantai. Ia baru saja makan. “Orang yang tinggal disitu sudah pindah,” katanya, saat ditemui di depan pintu.

Kakek yang memiliki dua anak angkat dan dua anak kandung itu, mulai membuka pembicaran dari seng rumahnya jebol akibat hantaman klatak kelapa sawit mesin pabrik dan jatuh tepat di seng bagian kamar tidurnya.

Seperti sudah mengetahui maksud kedatangan hetanews, Syarif dengan ramah mempersilahkan masuk. “Masuklah lihat itu di kamar sudah jebol semua terkena klatak sawit,” katanya.

Sejak pabrik beroperas, dirinya tidur di kursi dan tidak pernah menonton TV akibat pesawat televisinya rusak. Untuk air bersih, ia membelinya dari tetangga seharga Rp 5.000.

Kakek yang sudah menduda selama 10 tahun ini mengakui pemberian uang yang diberikan CV Rapi Tehnik sebesar Rp 100.000 per bulan dan sembilan bahan pokok (sembako) setahun sekali sebagai pengganti sumur bor nya yang sudah tercemar dan voltase listriknya berkurang.

Namun ia tetap berkeluh kesah, uang tersebut tak cukup untuk membayar air dan listriknya. Untuk melangsungkan kehidupan, Syarif terpaksa bekerja dengan memulung botol plastik bekas dengan menggunakan sepeda berkeliling lintas nagori.

Syarif yang bermukim selama 26 tahun di lokasi itu masih memimpikan kehidupan yang tentram di rumahnya seperti dulu. “Setelah Istri meninggal, anak-anak semua pergi. Gak pernah datang,” ungkapnya.

Ketika ditemui, Syarif tidak bekerja karena sekujur badanya masuk angin (pegal dan meriang) ditambah pernapasanya terganggu. Seharian ia menyandarkan sepedanya, dan duduk di kursi sembari menikmati keadaanya yang mebuat dirinya terbiasa. Ungkap Syarif, dirinya tidak pernah menerima sebutir obat dari perusahaan selama menderita sakit.

“Gak pernah ada obat, cuma uang seratus ribu aja,” ucapnya.

Walau vokal Syarif sudah hampir tidak jelas lagi, dirinya masih ingin bercerita kalau pihak perusahaan pernah meminta agar rumah kesayangannya itu dijual. Setelah dibujuk, Syarif mengaku menolak karena harga yang ditawarkan jatuh alias murah.

“Tanah hanya sepetak ini sama bangunannya, saya sudah lupa berapa waktu itu ditawari,” ceritanya.

Tidak ada pilihan lain selain tinggal di fumah miliknya yang hampir ‘ditelan’ pabrik CV Rapih Teknik. Syarif pria tua itu mau tidak mau harus ‘menikmati’ abu ketel dan asap pabrik. Walau sering tak bisa terpejam di malam hari.

Syarif juga kerap terkejut dan terbangun tengah malam mendengar klatak sawit menghujani rumah yang nyaris roboh. Tak ada yang ingin disampaikannya lagi hanya sepenggal kata yang disebutnya, ‘bagaimana mau dibuat lagi’.