SIANTAR, HETANEWS.com - Daulat Sihombing, SH, MH, Advokat dari Sumut Watch, mengecam keras sikap Ketua Yayasan dan Rektor Universitas Simalungun (USI). Keduanya diduga telah berkonspirasi jahat untuk membungkam dan menyingkirkan kliennya Dr. Benteng Sihombing, S.Hut, M.P, menyusul tindakan kliennya yang mencabut surat perdamaian atas dugaan plagiasi yang melibatkan Rektor USI, Dr. Sarintan Efratani Damanik, M.Si.

Demikian disampaikan Daulat kepada wartawan melalui siaran pers nya, Rabu (23/8/2023).

Sebagaimana terungkap, bahwa persoalan antara Dr. Benteng Sihombing, dengan Dr. Sarintan Efratani, bermula ketika Jurnal Habonaran Do Bona, Edisi 1, Maret 2019 ISSN No. 2085-3424 Hal 22 – 28, menerbitkan satu karya ilmiah berjudul “Hubungan Rentang Diameter dengan Angka Bentuk Kayu Jenis Kapur (Dryobalanops Aromatica) pada Hutan Produksi Terbatas”, yang diklaim karya Dr. Sarintan.

"Jurnal itu sendiri merupakan syarat akademik yang dipergunakan Dr. Sarintan untuk kenaikan pangkat menjadi Lektor Kepala," jelas Daulat.

Merasa jurnal itu bukan karya Dr. Sarintan, maka Dr. Benteng pun melayangkan protes ke Senat USI, tertanggal 25/11/2021, hingga Senat USI membentuk Tim Pencari Fakta, yang terdiri dari Dr. Mariah SM. Purba, MH, Ir. Warlinson Girsang, MP, Dr. Ulung Napitu, M.Si, Dr. Riduan Manik, MH, dan Jenriswandri Damanik, MH.

Hasil verifikasi Tim Pencari Fakta, dalam Berita Acara tertanggal 10 Desember 2021, berkesimpulan bahwa karya ilmiah yang diterbitkan Jurnal Habonaran Do Bona adalah karya ilmiah Dr. Benteng dan bukan karya Dr. Sarintan.

"Alih- alih untuk menjaga marwah USI, lalu para fungsionaris Yayasan, Rektorat dan Senat pun mendorong dugaan agar plagiat itu didamaikan, lalu Dr. Benteng dan Dr. Sarintan pun menandatangani Surat Perjanjian Perdamaian, tertanggal 13 April 2022," sebut Daulat.

Surat perjanjian kedua belah pihak saling memaafkan dan mengakhiri permasalahan dugaan plagiat karya ilmiah. Kedua belah pihak bersedia diberi sanksi oleh Pengurus Yayasan USI apabila dikemudian hari mengingkari isi perjanjian perdamaian. Seluruh surat- surat yang pernah dikirim oleh para pihak kepada Senat, Tim Pencari Fakta, Pengurus, Pengawas dan Pembina Yayasan dan LLDikti Wilayah I Medan Sumatera Utara dinyatakan ditarik dan tidak berlaku lagi.

Beberapa lama setelah berdamai, Dr. Benteng kemudian sadar bahwa perjanjian perdamaian itu hanya untuk menyelamatkan kepentingan Dr. Sarintan dalam pencalonan dam pemilihan Rektor USI Tahun 2022, dan tidak memiliki maslahat apapun terhadap dirinya.

Dr. Benteng pun melayangkan pembatalan atau Penarikan Perjanjian Perdamaian kepada Ketua Pengurus Yayasan, hal mana kemudian mengundang reaksi secara kontra produktif dari Ketua Yayasan dan Rektor sekaligus Ketua Senat.

Ketua Yayasan meminta Rektor USI melakukan Pemanggilan dan Pemberian Peringatan Pertama kepada Dr. Benteng, dan permintaan mana segera disambut oleh Dr. Sarintan selaku Rektor USI sekaligus Ketua Senat.

Sumut Watch melalui surat Nomor : /SW/VII/2023, tertanggal 18 Agustus 2023, yang dikirimkan kepada Ketua Yayasan dan Rektor/ Ketua Senat USI, menyatakan sangat menyesalkan sikap Ketua Pengurus Yayasan dan Rektor/ Ketua Senat USI yang secara vulgar mempertontonkan “konspirasi jahat” untuk membungkam kliennya Dr. Benteng.

Apalagi dalam dugaan plagiat di USI, kliennya adalah korban sedang Dr. Sarintan (Rektor USI) sebagai terduga pelaku.

Daulat sebagai mantan Hakim Adhoc pada Pengadilan Negeri Medan menilai, demi integritas dan public trusting terhadap civitas akademika USI maka Ketua Yayasan USI semestinya menindak dan menghukum tegas siapapun pelaku plagiasi termasuk Rektor.

"Dalam kasus dugaan plagiat di USI, Dr. Benteng adalah Korban dan Dr. Sarintan sebagai Terlapor, sehingga secara etik dan moral Dr. Sarintan Efratani Damanik, M.Si baik dalam kedudukannya sebagai Rektor maupun Ketua Senat sangat tidak patut dan tidak pantas untuk menghukum Dr. Benteng. Kalau dipaksakan, maka hasilnya menjadi keputusan yang immoral," yegas Daulat.

Sedangkan terkait pencabutan “Surat Perjanjian Perdamaian” oleh Dr Benteng tertanggal 13 April 2022, sesuai ketentuan Pasal 1320 KUHPerdata.

"Suatu perjanjian sah apabila memenuhi 4 syarat, yakni : kesepakatan para pihak, kecakapan yang membuat perjanjian, suatu hal tertentu dan suatu sebab yang halal. Sebab yang halal artinya tidak bertentangan dengan ketertiban umum, kesusilaan, dan peraturan perundang- undangan," jelasnya.

Menurutnya, dalam Perjanjian Perdamaian antara Dr. Benteng Sihombing dengan Dr. Sarintan Efratani Damanik, unsur “suatu sebab yang halal” tidak terpenuhi karena objek yang diperjanjikan “dugaan plagiasi karya ilmiah” bertentangan dengan peraturan perundang- undangan. Maka, dicabut atau tidak dicabut surat perjanjian perdamaian tersebut batal atau tidak sah secara hukum.

Ketua Yayasan dan Rektor sebagai “hulu” simbol intelektual kampus, semestinya tidak pernah terlibat dalam penandatanganan segala macam perjanjian yang tidak memenuhi syarat Pasal 1320 KUHPerdata. Karena hal itu menjadi indikator kualitas intelektual, profesionalitas dan integritas sebagai kaum akademisi.

"Maka apa yang dilakukan oleh Dr. Benteng yang membatalkan perjanjian perdamaian dengan Dr. Sarintan, adalah manifestasi kesadaran intelektual dari seorang akademisi," tutupnya.