JAKARTA, HETANEWS.com - Indonesia Corruption Watch (ICW) bersama Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) mengaku siap mengajukan gugatan uji materi ke Mahkamah Agung (MA) atas Peraturan KPU Nomor 10 dan 11 Tahun 2023 terkait Pencalegan.
Peneliti ICW Kurnia Ramadhana menegaskan bahwa kedua beleid itu memuat pasal yang dianggap mempermudah eks terpidana korupsi maju sebagai caleg pada Pemilu 2024.
"Jika dalam waktu dekat KPU tidak mau merevisi ketentuan itu, maka ICW bersama dengan Perludem serta organisasi masyarakat sipil lainnya akan segera mengajukan uji materi PKPU Nomor 10 Tahun 2023 dan PKPU Nomor 11 Tahun 2023 ke Mahkamah Agung," ujar Kurnia dalam keterangannya, Jumat (26/5/2023).
Sebelumnya, ICW menuding Peraturan KPU Nomor 10 dan 11 Tahun 2023 dibubuhi pasal tambahan yang membuat eks terpidana dengan ancaman 5 tahun penjara atau lebih tidak perlu menunggu 5 tahun bebas murni untuk maju sebagai caleg, jika yang bersangkutan divonis majelis hakim dengan pidana tambahan berupa pencabutan hak politik.
ICW menilai, pasal itu menabrak putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 87/PUU-XX/2022 dan 12/PUU-XXI/2023 yang mengabulkan permohonan Perludem.
Dua putusan itu sudah memberi syarat tambahan berupa masa jeda 5 tahun usai bebas murni, bagi eks terpidana tadi yang hendak maju sebagai caleg, dari yang sebelumnya tanpa syarat masa jeda.
Meski istilah "terpidana" di pasal ini tak spesifik terpidana korupsi, tetapi peneliti ICW Kurnia Ramadhana menyebut bahwa pasal ini berpotensi memudahkan koruptor untuk bisa maju sebagai caleg.
Sebab, berdasarkan data yang diolah ICW, 31 koruptor yang divonis tambahan pencabutan hak politik (2021) hanya dicabut hak politiknya selama 3 tahun 5 bulan jika dirata-rata.
Angka ini lebih ringan daripada masa jeda 5 tahun bebas murni. Kurnia mengambil contoh seandainya terpidana korupsi itu bebas murni pada 2020 dan hendak maju sebagai caleg.
"Jika mengikuti logika putusan MK dia harus menunggu masa jeda waktu 5 tahun sehingga yang bersangkutan baru bisa mencalonkan diri sebagai caleg pada 2025," kata Kurnia dalam jumpa pers, Senin (22/5/2023).
"Namun karena ulah dari KPU, mereka sudah bisa mencalonkan diri per 2023, tidak usah menunggu 5 tahun, tapi gunakan saja landasan pidana tambahan pencabutan hak politik," lanjutnya.
Kurnia khawatir, pasal ini "menginspirasi" para terdakwa korupsi yang berlatar belakang politik atau mantan pejabat publik untuk berharap agar majelis hakim mencabut hak politiknya.
"Karena sanksinya lebih ringan ketimbang mesti mengikuti putusan MK yang harus melewati masa jeda waktu 5 tahun. Ini logika sederhana yang akan terbangun di alam pikir terpidana korupsi yang berasal dari klaster politik," kata dia.
Sementara itu, Ketua KPU RI Hasyim Asy'ari mengklaim bahwa pasal tambahan terkait pengecualian masa jeda untuk eks terpidana tadi maju sebagai caleg merupakan aturan yang merujuk pada pertimbangan putusan MK.
Pernyataan yang dimaksud Hasyim ada bagian pertimbangan putusan MK Nomor 87/PUU-XX/2022, khususnya halaman 29, meski majelis hakim menggunakan istilah "pencabutan hak pilih" bukan "pencabutan hak politik".
Dalam pertimbangan itu, majelis hakim menilai, ketentuan eks terpidana dengan ancaman 5 tahun penjara maju caleg tanpa menunggu masa jeda 5 tahun bebas murni merupakan sesuatu yang inkonstitusional, seandainya berlaku bukan untuk "jabatan-jabatan publik yang dipilih (elected officials) sepanjang tidak dijatuhi pidana tambahan berupa pencabutan hak pilih oleh putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap".
Hasyim juga menyinggung bahwa Peraturan KPU yang dipersoalkan ICW sudah melalui tahapan uji publik, konsultasi dengan pemerintah dan DPR, serta diharmonisasi dengan Kementerian Hukum dan HAM.
"Maka kemudian kalau ada pihak-pihak yang menuduh KPU melakukan penyelundupan hukum, saya kira kita perlu diskusi lagi soal ini. KPU ini kan juga dalam merumuskan hati-hati, konsultasi sana-sini, berbagai macam pihak," ujar dia.
"Jadi kalau nuduh ada penyelundupan ini, ya, saya kira lebih baik ngajak KPU diskusi dulu, duduk bersama, mana yang dijadikan dasar. Jadi kemudian tidak mudah melemparkan tuduhan ke publik," tambah Hasyim.
Sumber: kompas.com