Oleh : Robert Tua Siregar Ph.D (Specialist Development Planning Area.Dosen S3,S2 Unv. Prima Indonesia.Dosen S2 Magister Ilmu Manajemen STIE Sultan Agung.Dosen S2 Magsister Adminisrasi Pubil Univ Sum.Utara)

Klasterisasi kewenangan pemakzulan kepala daerah/wakil kepala daerah menimbulkan konflik kewenangan antara DPRD dan Presiden/Menteri

Dalam Negeri dalam hal kepala daerah/wakil kepala daerah melakukan tindak pidana yang memicu krisis kepercayaan publik yang meluas karena adanya persinggungan antar dua klaster. Maka secara positif hal ini merupakan “akumulasi controlling” dari pihak legislative maka dengan menggunakan pendekatan undang-undang dan konseptual serta disajikan secara kualitatif.

Konflik kewenangan muncul tatkala laporan tindak pidana terhadap kepala daerah/wakil kepala daerah bersamaan ke DPRD dan kepolisian. Apabila DPRD memulai tahapan pemakzulan dan kepolisian juga memulai proses hukum maka benturan antar klaster kewenangan potensial terjadi.

Konflik kewenangan bertambah bilamana hasil penyelidikan DPRD dan kepolisian berbeda. Misalnya,dalam kasus penodaan agama yang dilakukan oleh Basuki Cahaya Purnama.

Masing-masing memiliki kewenangan yang diatur dalam klaster kewenangan masing-masing pula untuk menanggapinya. Akhirnya proses politik di DPRD dan proses hukum di kepolisian dapat tersaji. Rekonseptualisasi hak DPRD akan menghilangkan potensi konflik kewenangan dalam hal pemakzulan kepala daerah/wakil kepala daerah yang melakukan tindak pidana yang menimbulkan krisis kepercayaan masyarakat.

Kemudian untuk mengejemantahkan bunyi ketentuan tersebut, lahirlah Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah.Undang-Undang No. 23 tahun 2014 tentang pemerintahan daerah pada pasal 80 ayat (1) dengan yang akan di impeach terlebih dahulu harus berdasarkan putusan Mahkamah Agung atas pendapat DPRD kepala daerah atau wakil kepala daerah yang dinyatakan melanggar sumpah janji jabatan. tidak melaksanakan kewajiban, melakukan perbuatan tercela.

Kemudian pendapat DPRD diputuskan melalui Rapat Paripurna DPRD yang dihadiri oleh paling sedikit 3/4 (tiga perempat) dari jumlah anggota DPRD dan putusan diambil dengan persetujuan paling sedikit 2/3 (dua pertiga) dari jumlah anggota DPRD yang hadir.

Kemudian berlanjut ke Mahkamah Agung akan memeriksa, mengadili, dan memutus pendapat DPRD paling lambat 30 (tiga puluh) Hari setelah permintaan DPRD diterima Mahkamah Agung dan putusannya bersifat final.

Apabila Mahkamah Agung memutuskan bahwa kepala daerah atau wakil kepala daerah terbukti melanggar sumpah/janji jabatan, tidak melaksanakan kewajiban, melanggar larangan sebagai kepala daerah dan wakil kepala daerah, melakukan perbuatan tercela, pimpinan DPRD menyampaikan usul kepada Presiden untuk pemberhentian gubernur atau wakil gubernur dan kepada Menteri untuk pemberhentian bupati atau wakil bupati/wali kota atau wakil wali kota.

Mengapa proses impeachment kepala daerah sedemikian rigid? karena pasca reformasi esensi otonomi daerah digagas agar kewenangan seluas-luasnya diberikan kepada daerah untuk mengelola wilayahnya secara mandiri.

Kepala daerah dipilih secara langsung, yang bermakna pertanggungjawaban sebagai wakil pemerintah pusat di daerah hanya bersifat administrasi. Sedangkan sebagai kepala pemerintahan ditingkat lokal, secara langsung bertanggungjawab kepada rakyat, Bukan kepada DPR, DPRD ataupun Pemerintah Pusat. Sebab mandat yang diperoleh sangat kuat legitimasinya, memperoleh kewenangan langsung dari rakyat.

Instruksi pemerintah pusat sifatnya koordinatif, administratif. Maka sanksinya pun harus administratif yang sifatnya tidak mendelegitimasi jabatan yang melekat secara otoritatif.

Dampak negative dari pemakzulan secara konprehensif pemakzulan pasti akan menimbulkan terkurasnya “energy” kedua belah pihak (Legialatif dan Eksekutif), dimana konsentari dan terkurasnya focus akan polemic yang terjadi, yang tentu akan mengganggu proses pemerintahan dan pembangunan.

Hal ini menjadi kata pasti dalam proses pembangunan, karena akan terjadi proses yang terganggu, begitu juga dengan “cost” yang diakibatkan proses pemakzulan tersebut tidak sedikit nantinya biaya yang di keluarkan, satu sisi pihak Legislatif akan menggunakan anggaran dalam proses mekanismenya.

Hal ini lah yang saat ini terjadi di Kota Pematangsianar, plus minus yang akan di terima oleh wilayah ini, karena dalam perjalanan “pemakzulan” akan membutuhkan proses panjang, dan tentu akan membutuhkan energy dan biaya serta dampak yang besar untuk Kota ini, Karena kita sudah pernah melihat pemakzulan pada periode sebelumnya, jika kita telisik kenyataan dari “pemakzulan” tersebut berujung tidak tereksekusi, kita tidak melihat conten atau materinya, tetapi akibat pemakzulan akan menimbulkan plus minus.

Untuk itu mari kita berpikir secara rasional dalam proses ini, tentu pihak eksekutif juga harus menjaga tatanan tugas dan fungsi, karena jika hal ini (tupoksi) tidak terlaksana dengan baik, tentu DPRD sebagai alat pengawas, akan menjalankan tugas dan fungsinya yaitu yang saat ini kita lihat. Mari kita berpikir jernih, dan Pihak Eksekutif juga harus menyadari apa yang kurang, dan Legislatif juga harus melihat proses panjangnya dan dampaknya.

Segeralah dilakukan komunikasi dua arah agar Plus Minus tersebut bisa direduksi dan sama sama membicarakannya. Eksekutif juga (Walikota) lakukan komunikasi terkait pertanyaan Legislatif (DPRD) tersebut agar tidak terjadi kondisi yang lebih buruk lagi.