HETANEWS.com - Gelombang digitalisasi ekonomi dan keuangan berlangsung semakin deras di era pandemi. Hal itu jelas memengaruhi sebagian besar keputusan masyarakat saat bertransaksi. Pembayaran daring dirasa lebih realistis untuk menghambat penyebaran virus alih-alih pembayaran tunai.
Tidak sekedar itu, pandemi juga menyebabkan kepemilikan aset kripto melonjak tajam. Kripto adalah mata uang digital. Melansir data Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi (Bappebti), jumlah perdagangan cryptocurrency pada 2022 mencapai Rp306,4 triliun.
Sedangkan pelanggan cryptocurrency yang terdaftar sepanjang 2022 mencapai 16,7 juta orang atau naik 44,64% dibanding tahun sebelumnya. Dengan populasi penduduk yang dominan berusia muda, Indonesia muncul sebagai pasar potensial untuk aset kripto.
Dalam skala global, dilaporkan oleh We Are Social dan Hootsuite (Januari 2023), Indonesia menempati peringkat keenam dalam kategori kepemilikan cryptocurrency.
Selain sebagai instrumen investasi, ternyata kripto juga dipakai sebagai alat pembayaran oleh beberapa kalangan. Sebut saja Elon Musk yang juga pemilik perusahaan mobil listrik terbesar di dunia.
Beberapa waktu lalu ia mengumumkan bahwa bitcoin dapat dipakai sebagai alat pembayaran untuk pembelian mobil Tesla. Contoh lainnya perusahaan Microsoft yang menerima pembayaran dari cryptocurrency untuk pembayaran game, aplikasi dan konten digital.
Kenapa cryptocurrency digemari sebagai alat pembayaran oleh para penggunanya?
Karena cryptocurrency dirasa lebih menguntungkan pengguna, antara lain terhindar dari biaya transaksi dan biaya kliring perbankan. Maraknya penggunaan cryptocurrency nampaknya menyisakan beberapa persoalan.
Antara lain tingginya risiko, tidak adanya basis penilaian, fluktuasi harga yang begitu tinggi, dan tidak ada lembaga penjamin di dalamnya yang sah secara hukum menjadi problem tersendiri bagi para pengguna.
Sedangkan dalam konteks makro, masifnya penggunaan cryptocurrency semakin menyulut terjadinya shadow currency, shadow banking, dan bahkan sampai shadow central banking.
Mencermati kondisi tersebut, pemerintah dituntut mengambil langkah strategis demi menjalankan amanat UU No.7 Tahun 2011 tentang Mata Uang yang mewajibkan siapapun menggunakan rupiah saat bertransaksi di wilayah NKRI.
Karena kedaulatan rupiah merupakan cerminan dari kedaulatan negara. Bank Indonesia (BI) sebagai otoritas moneter tunggal, menginisasi buku putih Proyek Garuda untuk pengembangan mata uang bank sentral digital (CBDC) atau rupiah digital.
Perlu diketahui, saat ini Indonesia bukanlah satu-satunya negara yang akan mengembangkan CBDC. Terdapat beberapa negara yang telah menerapkan penggunaan CBDC sebagai alat pembayaran dan didukung oleh rakyatnya.
Tercatat ada sembilan negara yang saat ini yang telah menerapkan CBDC secara penuh, yaitu Nigeria, Bahama, dan tujuh negara di kepulauan Karibia. Di level asia, Tiongkok paling terdepan dalam penerapan CBDC, sejak aplikasi yuan digital diluncurkan, nilai transaksinya telah menembus 83 miliar yuan (cncbindonesia.com, 14 Juli 2022)
Inklusi keuangan
Pengembangan CBDC di berbagai negara umumnya bervariasi dan sangat bergantung dari tujuan kebijakan masing-masing.
Negara berkembang lebih cenderung ke arah inklusi keuangan, sementara negara maju mengarah pada adopsi inovasi teknologi untuk memperkuat resiliensi infrastruktur sistem pembayaran.
Di Indonesia, eksplorasi penerbitan CBDC bertujuan untuk (siaran pers BI, 28 Juli 2022); pertama, sebagai alat pembayaran digital tanpa risiko yang dikeluarkan secara resmi oleh bank sentral.
Kedua, mengurangi risiko mata uang digital yang dikeluarkan oleh pihak-pihak tertentu di luar bank sentral. Ketiga, memperluas cakupan dan efisiensi sistem pembayaran, termasuk lintas-batas. Keempat, mendorong perluasan dan percepatan inklusi keuangan.
Kelima, penyediaan instrument kebijakan moneter baru. Terakhir, kemudahan dalam penyaluran subsidi fiskal. Dalam konteks desain, rancangan rupiah digital diklasifikasikan menjadi dua bentuk yakni wholesale (w-rupiah digital) dan ritel (r-rupiah digital).
Dengan dilengkapi dengan tiga susunan arsitektur teknologi, susunan yang pertama yakni platform teknologi yang berisi fitur-fitur pendukung rupiah digital seperti kontrak, layanan, penggunaan kriptografi, dan aplikasi program antarmuka.
Susunan kedua yakni aset digital yang berisi aset-aset digital yang dikelola oleh BI yang terdiri dari rupiah digital dan digital securities. Selanjutnya lapisan terakhir adalah use case yang berisi fungsi dan layanan yang memanfaatkan aset digital baik milik BI maupun eksternal.
Pengembangan rupiah digital pun akan dilakukan secara bertahap, tahap awal berupa pengembangan w-rupiah digital dalam hal penerbitan, pemusnahan, dan transfer dana antarpihak.
Selanjutnya tahapan dilanjutkan dengan perluasan w-rupiah digital dalam mendukung transaksi di pasar keuangan. Kemudian diakhiri dengan tahapan integrasi dari ujung ke ujung antara w-rupiah digital dengan r-rupiah digital akan diujicobakan.
Kehadiran rupiah digital menjadi jangkar bagi alat pembayaran di era digital, yang nantinya terhubung dengan financial market infrastuctures (FMI) dan sistem pembayaran (SP) yang sudah ada, dengan menitikberatkan pada nilai interkoneksi, interoperabilitas dan intergrasi.
Deretan manfaat bila diterapkannya rupiah digital, antara lain; pertama, dari sisi masyarakat, rupiah digital berguna sebagai instrumen meminimalkan risiko peredaran uang palsu serta kehilangan pada saat penggunaan uang tunai dari satu lokasi ke lokasi lain.
Kedua, dari sisi pemerintah, rupiah digital diharapkan dapat menurunkan biaya pengelolaan uang tunai. Mengingat biaya cetak dan distribusi uang tunai tergolong tinggi karena wilayah NKRI terdiri dari kepulauan.
Rupiah digital diharapkan menjawab kebutuhan akan alat transaksi di era perekonomian digital dengan keunggalan yang diwarkan berupa cepat, mudah, aman, murah dan andal. Sehingga pada gilirannya diharapkan mampu memberikan nilai tambah bagi perekonomian nasional.
Sumber: mediaindonesia.com