SUMUT, HETANEWS.com - Pada tahun 2022, banyak prediksi inflasi yang melesat dengan kondisi pasar yang terjadi. Di antaranya imbas kenaikan BBM meski akhirnya diredam oleh penurunan harga cabai merah. Pengendalian Inflasi tahun 2023 diprediksi akan lebih sulit.

"Laju tekanan inflasi akibat kenaikan harga BBM diproyeksikan akan menyentuh 1,8 persen. Dan saya sendiri sebelumnya memperkirakan bahwa Sumut akan mencapai inflasi hingga tutup tahun dalam rentang 5,7 persen hingga 6,4 persen," ungkap Ekonom Sumut Gunawan Benjamin.

Setelah kenaikan harga BBM, Sumut justru mengalami deflasi pada Oktober 2022. Inflasi yang diduga karena faktor kenaikan BBM dapat diredam dengan penurunan harga cabai merah.

"Inflasi pada bulan September di Sumut awalnya menyentuh 1 persen. Memang sangat tertolong dengan penurunan harga cabai, di mana kelompok bahan pangan hortikultura mengalami penurunan (deflasi). Dan setelah kenaikan laju tekanan inflasi pada September tersebut, Sumut justru mencatatkan deflasi pada bulan oktober sebesar 0,51 persen," jelasnya.

Gunawan menilai hal tersebut dapat menjadi modal oleh Tim Pengendalian Inflasi Daerah (TPID) untuk mengendalikan inflasi 2023. Namun begitu, ia juga mengingatkan bahwa inflasi tahun 2023 akan lebih berat dengan variabel yang sulit diprediksi.

"Kalau di 2022 ada kebijakan kenaikan harga BBM yang sudah pasti memicu tekanan inflasi. Nah di tahun 2023 inflasinya akan lebih berat, karena banyak variabel yang sulit diprediksi yang akan membentuk inflasi nantinya," ujar Gunawan.

Adapun variabel yang dimaksud, seperti dampak kenaikan harga pupuk yang bisa membuat produktifitas tanaman terganggu, termasuk juga penurunan alokasi pupuk bersubsidi.

"Kemudian kemungkinan adanya penurunan daya beli masyarakat, yang bisa membuat masyarakat lebih sensitif terhadap perubahan kenaikan harga sekecil apapun. Faktor cuaca (kering) yang diprediksi akan mengganggu harga selama semester pertama 2023," kata Gunawan.

Selanjutnya, tantangan inflasi 2023 akan lebih besar terlihat dari ketidakpastian kondisi geopolitik global yang sangat berpeluang memicu terjadinya gangguan pada sisi supply.

"Gangguan supply ini bisa bermuara pada kenaikan harga bahan baku, bahan pangan maupun barang modal hingga harga energi," tuturnya.

Kemudian juga ada kemungkinan pelemahan Rupiah seiring dengan kebijakan kenaikan suku bunga acuan Bank Sentral AS atau The FED.

Dikatakan Gunawan, tantangan yang akan dihadapi tahun depan bukan tidak mungkin dapat kembali dikendalikan. Ia menyebutkan inflasi harus diusahakan tidak jauh dari angka 0 persen.

"Yang paling penting adalah bagaimana mengupayakan agar inflasi bisa tidak jauh dari angka 0%. Resesi pada umumnya akan mendorong penurunan agregat. Tetapi kenaikan biaya input produksi, perang dan cuaca sangat berpeluang untuk mendorong penurunan supply barang," pungkasnya.