HETANEWS.com - Keluarga korban peristiwa Paniai Berdarah menyebut vonis bebas terdakwa tunggal Isak Sattu oleh Majelis Hakim Pengadilan HAM di Makassar menyiratkan bahwa "orang Papua tidak bernilai di mata negara".
Dalam putusan yang berlangsung pada Kamis (8/12) ini, Majelis Hakim menyatakan terdakwa tidak terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan pelanggaran hak asasi manusia sebagaimana di dalam dakwaan.
Tapi Komnas HAM mendorong Jaksa Agung mengajukan kasasi dengan merujuk pada dissenting opinion dua majelis hakim yang menyebutkan Isak Sattu terbukti sebagai penanggungjawab komando saat insiden itu terjadi.
Apa putusan majelis hakim?
Majelis Hakim Pengadilan HAM Paniai memutus bebas mantan perwira penghubung pada Kodim Paniai, Mayor Infantri (Purnawirawan) Isak Sattu dalam kasus pelanggaran HAM berat Paniai.
Ketua majelis hakim, Sutisna Sawati, mengatakan terdakwa Isak Sattu tidak terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan pelanggaran hak asasi manusia sebagaimana di dalam dakwaan satu dan dakwaan kedua.
"Membebaskan terdakwa dari semua dakwaan penuntut umum," ujar Ketua Majelis Hakim Sutisna Sawati di Pengadilan Negeri Makassar, Kamis (8/12).
"Menimbang bahwa karena terdakwa dibebaskan, maka harus dipulihkan hak-haknya dengan pengukuran kedudukan harkat serta martabatnya," sambung hakim.
Dalam perkara ini, Isak Sattu dituntut 10 tahun penjara karena dituduh melanggar pasal 42 ayat 1 UU Pengadilan HAM tentang pertanggungjawaban komando terhadap peristiwa pelanggaran HAM berat.

Keluarga korban: 'Kami masyarakat Papua seperti bukan manusia'
Pendamping keluarga korban Paniai, Yones Douw, berkata pihaknya sedari awal sudah memprediksi kalau Isak Sattu yang merupakan mantan perwira penghubung pada Kodim Paniai, bakal divonis bebas oleh majelis hakim.
Ini karena dakwaan jaksa penuntut disebutnya tidak cukup kuat untuk membuktikan adanya "pertanggungjawaban komando" atas peristiwa pelanggaran HAM berat dengan hanya menyeret satu pelaku.
Karena menurut ketersangkan 57 saksi, penyelidikan Polda Papua, dan rekomendasi Komnas HAM, setidaknya ada empat pihak yang harus dimintai pertanggungjawaban. Empat pihak itu merupakan pimpinan dari empat kesatuan yang diduga melakukan kekerasan serta penembakan terhadap para korban.
"Ada empat kesatuan yang terlibat penembakan. Maka dari empat kesatuan itu, tidak mungkin dari pasukan Timsus 753 menuruti perintah Kopasus. Begitu juga Kopasus, tidak mungkin mau dengar komandan Komaril. Mereka bergerak atas perintah komandan masing-masing," kata Yones Douw kepada BBC News Indonesia, Kamis (8/12).
"Jadi dari awal kami sudah bisa pastikan kalau hanya satu tersangka, vonis bebas. Sehingga kami tidak mau kecewa pada putusan yang tidak adil itu, jadi kami tidak hadir [di persidangan],"

Bagi keluarga korban dan orang Papua, putusan bebas ini seperti menegaskan "orang Papua tidak bernilai di mata negara". Sekaligus menyiratkan kalau negara tidak bersalah dalam pelanggaran HAM berat yang terjadi di Papua.
Catatan Yones, ini bukan kali pertama pelaku pelanggaran HAM berat di Papua divonis tak bersalah. Pada 8 September 2005, Majelis Hakim Pengadilan HAM di Makassar juga memutus bebas terdakwa Brigjen Pol Jhonny Wainal Usman.
Majelis hakim yang diketuai Jalaluddin menyatakan Johnny tidak terbukti secara sah bersalah melakukan pelanggaran HAM berat di Abepura, Papua, berupa kejahatan terhadap kemanusiaan dengan cara pembunuhan dan penganiayaan. Hakim menyebut aksi tersebut sebagai tindakan reaktif dan dilakukan sesuai standar operasional.
Untuk diketahui, peristiwa Abepura yang terjadi pada tahun 7 Desember 2000 bermula dari penyerangan sekelompok orang ke Mapolsek Abepura dan berujung razia anggora polisi ke beberapa kampung yang diduga warganya terlibat. Akibat penyisiran aparat Brimob itu, tujuh warga sipil tewas dan 74 orang terluka.
"Kami masyarakat Papua seperti bukan manusia, kami warga kelas dua di mata negara ini, sehingga ada putusan seperti itu."
Komnas HAM desak Jaksa Agung ajukan kasasi
Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) mendorong Jaksa Agung mengajukan upaya hukum kasasi atas vonis bebas tersebut dengan bersandar pada dissenting opinion dua anggota majelis hakim.
Dissenting opinion tersebut menyebutkan bahwa Isak Sattu secara de facto memiliki pangkat tertinggi saat kejadian dan punya kewenangan memberikan perintah kepada bawahannya.
Menurut Komisioner Komnas HAM, Abdul Haris Semendawai, berpegang pada pendapat itu sesungguhnya cukup kuat untuk menunjukkan Isak Sattu adalah penanggungjawab komando ketika peristiwa terjadi.
"Jadi sebetulnya peluang untuk kasasi itu masih terbuka. Tadi kan ada dissenting opinion dari dua anggota majelis hakim yang mengatakan bahwa untuk membuktikan seseorang sebagai penangggungjawab komando atau memiliki perintah yang efektif terhadap pasukan, itu tidak hanya dilihat secara de jure tapi dilihat secara de facto," jelas Abdul Haris Semendawai dalam konferensi pers virtual, Kamis (8/12).
Bagaimana jalannya persidangan?
Sebelumnya Latifah Anum Siregar dari Koalisi LSM HAM Paniai Berdarah yang mengikuti jalannya sidang berkata, persidangan ini berjalan "tanpa greget" atau seperti kasus kriminal biasa, bukan layaknya pengadilan HAM.
Hal itu tampak "dari cara jaksa penuntut yang tidak berupaya menggali fakta-fakta di lapangan dan mengajukan bukti yang kuat".
Soal bukti, uji balistik atau uji proyektil senjata dalam kasus Paniai tidak menemukan hasil yang identik. Lalu, bukti lain berupa saksi yang dihadirkan menyebut terdakwa tak memiliki kewenangan melekat saat peristiwa terjadi.

Namun, kata dia, pendalaman yang dilakukan majelis hakim dalam menggali keterangan saksi berhasil mengungkap adanya "rantai komando yang lebih tinggi".
Hal itu sejalan dengan rekomendasi Komnas HAM dan hasil penyelidikan Polda Papua bahwa setidaknya ada empat pihak yang harus dimintai pertanggung jawaban.
Semisal komandan pasukan angkatan udara di Bandara Enarotali; komandan Brimob dan Dalmas Paniai; komandan Komaril dan Timsus 753; serta kopasus. Keempat kesatuan itu, kata Latifah, berada di lokasi kejadian dan melakukan kekerasan serta penembakan kepada para korban.
"Daerah itu kan daerah yang diberi status merah, ada operasi Aman Matoa V. Ada banyak pasukan di situ, ada banyak pemilik komando di sana," ujar Latifah kepada BBC News Indonesia, Minggu (4/12).
"Jadi pelaku lapangan dulu diseret, pelaku pemberi komando, dan pelaku pembuat kebijakan harusnya kena."

Dalam pledoi atau pembelaan, terdakwa Isak Sattu juga menolak dijadikan satu-satunya pelaku dan mengklaim dirinya menjadi korban fitnah. Ia pun menyebut dakwaan jaksa penuntut "prematur serta belum memenuhi syarat".
"Karena dipaksakan saya sebagai terdakwa tunggal dari sekian banyak saksi-saksi yang diperiksa. Padahal ada saksi yang lebih berpotensial untuk ditingkatkan jadi tersangka atau terdakwa, tapi tidak didalami oleh tim pemeriksa JPU," ucap Isak Sattu di sidang PN Makassar, Senin (28/11).
Itu mengapa, menurut Latifah, dalam putusan nanti majelis hakim memutuskan untuk memerintahkan jaksa melakukan penyidikan terhadap pihak-pihak lain yang diduga sebagai pelaku.
Dengan begitu bisa memberikan rasa keadilan bagi para korban. Sebab sepanjang pengetahuannya "tidak ada pelaku pelanggaran HAM berat dengan terdakwa tunggal".
"Tidak ada di dunia, pelaku pelanggaran HAM sendiri. Kasus Abepura pelakunya dua orang, Timor Leste ada lima, Tanjung Priok 12 terdakwa. Karena pelaku pelanggaran HAM itu berlapis."
Pertaruhan kredibilitas hakim dan Jaksa Agung
Dalam penyelidikan Komnas HAM atas peristiwa Paniai, lembaga ini menyebut bahwa kejadian yang berlangsung delapan tahun silam itu merupakan "peristiwa kejahatan terhadap kemanusiaan".
Dalam konteks itu, insiden kekerasan dan penembakan yang menyebabkan empat orang meninggal dan belasan luka-luka, tak lepas dari kebijakan politik yang diambil pemerintah di Papua yakni Operasi Aman Matoa V.
Mantan komisioner Komnas HAM, Amuruddin Al Rahab, yang pernah memantau persidangan pelanggaran HAM berat Paniai, menilai pihak lain yang semestinya bisa diminta pertanggungjawaban adalah pembuat kebijakan operasi tersebut.
Sebab kebijakan itu menyebabkan pengerahan aparat dengan kelengkapan senjata api diarahkan untuk menghadapi penduduk sipil.
"Kalau kebijakan negara tidak mungkin satu orang yang bikin dan bukan dibuat oleh orang di level bawah," tegas Amiruddin.

Paniai ketika itu berstatus daerah rawan, dan menjadi lokasi Operasi Aman Matoa V, dengan penempatan satuan keamanan organik dan non-organik.
Aparat keamanannya berasal dari Polres Paniai, Polsek Timur Paniai, Satuan Peleton Brimob, Koramil 1702 Enarotali, Timsus /Yonif 753/AVT/Nabire, Paskhas TNI AU dan Kopassus.
Kala itu, Komnas HAM berharap Jaksa Agung menyidik pihak-pihak yang membuat kebijakan Operasi Aman Matoa V, bukan cuma komando efektif lapangan, kata Amiruddin. Sebab hanya menyeret satu pelaku membuat persidangan "tidak maksimal".
"Kalau orang punya pandangan yang utuh tentang peristiwa itu, artinya peristiwa itu tidak mungkin dilakukan oleh satu orang. Kenapa? Karena ini berkaitan dengan adanya pasukan yang melakukan operasi di wilayah itu. Operasi ini kan tidak datang ujug-ujug."
"Tugas jaksa menunjukkan peristiwa ini kejahatan terhadap kemanusiaan, konstruksi peristiwanya mesti memperlihatkan itu."
Bagi Amiruddin, kasus Paniai ini mempertaruhkan kredibilitas hakim dan Jaksa Agung dalam menjalankan pengadilan HAM.
Jika hasilnya dianggap tidak memberikan keadilan yang maksimal, maka masyarakat Papua juga publik tidak akan percaya lagi pada proses pengadilan HAM di Indonesia ke depan.
Sementara masih banyak kasus-kasus pelanggaran HAM berat yang mangkrak atau belum ditindaklanjuti kejaksaan.

Peneliti dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Cahyo Pamungkas, juga sependapat. Kata dia, rakyat akan semakin tidak percaya pada komitmen pemerintah menuntaskan persoalan-persoalan HAM. Lebih dari itu, siklus kekerasan di Papua akan terus terjadi lantaran para pelakunya tidak dihukum setimpal.
"Putusan yang tidak adil ini, tidak membuat jera. Sehingga ke depan mereka tidak takut dan bisa mengunglangi tindakan-tindakan represif," imbuh Cahyo Pamungkas.
Apa tanggapan keluarga korban?
Sejak awal persidangan Paniai berjalan, keluarga korban menyatakan menolak pengadilan HAM tersebut. Menurut mereka, sidang ini hanya "sandiwara" yang dilakoni pemerintah untuk menunjukkan kepada dunia internasional bahwa Indonesia telah menuntaskan kasus pelanggaran hak asasi manusia.
Kata Yones Douw yang merupakan perwakilan korban dan keluarga korban, kasus Paniai belum selesai karena cuma ada satu pelaku yang diseret ke meja hijau.
"Kami beranggapan kasus pelanggaran HAM Paniai belum diselesaikan oleh pengadilan di Makassar. Kalau itu pengadilan HAM maka semua pejabat yang memberi perintah harus diadili," jelas Yones Douw.
"Kalau cuma satu pelaku, itu bukan pengadilan HAM tapi kriminal biasa."
Pada sidang putusan Kamis (8/12) nanti keluarga korban, katanya, tidak akan datang ke Makassar.

Peristiwa Paniai ini berawal pada malam 7 Desember 2014 di Enarotali, Kabupaten Paniai, Papua. Kejadian ini diduga diawali oleh teguran kelompok pemuda kepada anggota Tentara Nasional Indonesia (TNI) yang membawa mobil Toyota Fortuner Hitam tanpa menyalakan lampu.
Teguran itu rupanya menyebabkan pertengkaran yang berujung penganiayaan oleh TNI. Esok harinya, 8 Desember 2014, rombongan masyarakat Ipakiye berangkat menuju Enarotali, mendatangi Polsek Paniai dan Koramil untuk meminta penjelasan.
Masyarakat berkumpul di Lapangan Karel Gobai yang terletak di depan Polsek dan Koramil sambil menyanyi dan menari sebagai bentuk protes terhadap tindakan aparat sehari sebelumnya.
Merasa tak mendapat tanggapan, situasi memanas dan masyarakat mulai melempari pos polisi dan pangkalan militer dengan batu. Aparat menanggapi aksi tersebut dengan penembakan untuk membubarkan massa. Empat orang warga sipil tewas dan 21 orang lain terluka karena penganiayaan.
Penyidikan kasus Paniai dimulai pada Desember 2021. Selama kurang lebih empat bulan, Kejaksaan Agung telah memeriksa tujuh warga sipil, 18 orang dari kepolisian, 25 orang dari unsur TNI, serta enam pakar ahli.
Sumber: bbcindonesia.com