HETANEWS.com - Juru Bicara Mahkamah Agung (MA) Andi Samsan Nganro belum lama ini mengungkapkan bahwa, lembaganya sudah melakukan evaluasi hingga akhirnya memutuskan menempatkan aparat TNI di kantor MA. Selain meningkatkan keamanan di MA, pengamanan itu disebut Andi untuk mencegah masuknya orang-orang yang tidak jelas urusan kepentingannya ke kantor MA.

"MA mengadakan evaluasi tentang pengamanan yang selama ini dilaksanakan oleh pengamanan internal MA dengan dibantu oleh seorang kepala pengamanan dari TNI/militer karena menurut pengamatan belum memadai sehingga perlu ditingkatkan," ujar Andi.

Namun, ia memastikan pengamanan oleh militer tersebut bukan untuk menakut-nakuti masyarakat.

"Model pengamanan bagaimana yang diperlukan di MA memang sudah lama dipikirkan sebab aspek keamanan bagi kami di MA penting bukan untuk menakut-nakuti tetapi keberadaannya di lembaga tertinggi penyelenggaraan kekuasaan kehakiman dan juga tempat tumpuan akhir rakyat Indonesia mencari keadilan dibutuhkan suasana dan keamanan yang layak," kata Andi Samsan.

Keputusan MA melibatkan TNI dalam pengamanan kantor mereka, menyulut protes dari kalangan lembaga swadaya masyarakat (LSM). Imparsial misalnya, menilai bahwa penempatan anggota TNI di kantor MA akan bertentangan dengan UU Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI, lantaran membuat TNI terlibat dalam tugas-tugas sipil.

"Melibatkan prajurit TNI sebagai satuan pengamanan di lingkungan MA bertentangan dengan UU TNI dan mengganggu profesionalitas TNI. Karena menarik jauh TNI ke dalam tugas-tugas sipil di luar tugas pokok dan fungsinya," kata Direktur Imparsial Gufron Mabruri dalam keterangan pers yang diterima Republika pada Jumat (11/11).

Merujuk Pasal 6 dan 7 UU TNI, Gufron mengingatkan penempatan prajurit dalam rangka pengamanan hakim MA pun sebenarnya tidak masuk tugas pokok dan fungsi TNI. Kemudian, penempatan prajurit sebagai satuan pengamanan di lingkungan MA juga tak tepat jika disebut operasi militer selain perang.

"Seharusnya hal tersebut didasarkan pada keputusan politik negara pada Pasal 7 ayat 3 UU TNI, bukan keputusan MA. Yang dimaksud dengan keputusan politik negara adalah kebijakan politik pemerintah bersama-sama dengan DPR yang dirumuskan melalui mekanisme hubungan kerja antara pemerintah dan DPR atau pada penjelasan Pasal 5 UU TNI," ujar Gufron.

Selain itu, Gufron menduga penggunaan prajurit TNI sebagai satuan pengamanan (satpam) di MA hanyalah langkah gagah-gagahan dari MA. Ia mensinyalir justru TNI yang bakal menuai dampak buruk dari penempatan itu.

"Kebijakan pengamanan MA oleh TNI tidak lama berselang setelah adanya operasi tangkap tangan terhadap salah satu hakim MA," ucap Gufron.

Atas dasar itulah, Gufron mendesak Panglima TNI Jenderal Andika Perkasa mengambil sikap tegas atas kebijakan MA tersebut. "Pada titik ini, butuh ketegasan Panglima TNI agar konsisten menempatkan TNI dalam relnya sebagai prajurit sesuai dengan mandat UU TNI dengan tidak memenuhi permintaan MA," tegas Gufron.

Anggota Komisi I DPR RI Christina Aryani juga memandang perlu evaluasi ulang terhadap pengamanan gedung Mahkamah Agung (MA) oleh TNI agar sejalan dengan tugas pokok sebagaimana termaktub dalam Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia.

"MA jelas membutuhkan pengamanan. Akan tetapi, apakah harus dengan TNI? Hakikat ancaman dan gangguan seperti apa sehingga butuh pengamanan TNI," kata Christina di Jakarta, Jumat, pekan lalu.

Menurut dia, MA seharusnya menyampaikan alasan kenapa pengamanan internal dan kepolisian tidak cukup sehingga harus menggunakan TNI. Dikatakan pula bahwa tugas pokok TNI telah diatur dalam UU No. 34/2004 yang dilakukan dalam bentuk operasi militer perang dan operasi militer selain perang (OMSP).

"Mengacu pada kerangka OMSP, TNI dapat memberikan bantuan salah satunya menyangkut pengamanan objek vital nasional yang bersifat strategis," ujarnya.

Christina menilai objek vital strategis terkait dengan hajat hidup orang banyak, harkat dan martabat bangsa, serta kepentingan nasional yang ditentukan dengan keputusan pemerintah jadi ada produk hukum yang menyatakannya sebagai objek vital strategis. Ia menjelaskan bahwa Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 63 Tahun 2004 tentang Pengamanan Objek Vital Nasional mengatur penyelenggaraan pengamanan oleh pengelola objek, dapat meminta bantuan Polri.

"Keppres 63/2004 juga telah mengatur penyerahan pengamanan objek vital nasional yang selama ini dilakukan TNI, lalu diserahkan kepada pengelola objek paling lama Februari 2005, dengan pengecualian istana dan kediaman resmi presiden/wapres tetap pengamanannya oleh TNI," katanya.

Pihak Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sebelumnya, meyakini kebijakan pengamanan di lingkungan MA tidak terkait dengan kegiatan penggeledahan beberapa waktu lalu.

"Kami meyakini kebijakan tersebut tentu tidak ada kaitannya dengan kegiatan KPK beberapa waktu yang lalu di Gedung MA," ucap Kepala Bagian Pemberitaan KPK Ali Fikri dalam keterangannya pada Rabu, pekan lalu.

Adapun kegiatan penggeledahan di Gedung MA oleh KPK itu dilakukan dalam penyidikan kasus dugaan suap pengurusan perkara di MA yang menjerat Hakim Agung nonaktif Sudrajad Dimyati (SD) dan kawan-kawan sebagai tersangka. Pada Selasa (1/11/2022), Tim Penyidik KPK menggeledah di ruang Hakim Agung dan sekretaris MA. Sebelumnya pada Jumat (23/9/2022), KPK telah menggeledah di Gedung MA.

Ali mengatakan, bahwa KPK dalam mengumpulkan bukti dalam proses penyidikan dilakukan dengan berbagai strategi, di antaranya melalui upaya paksa penggeledahan.

"Tindakan KPK tersebut secara hukum dibenarkan sebagaimana ketentuan undang-undang maupun hukum acara pidana yang berlaku," ujar Ali.

Ketua Bidang Sumber Daya Manusia, Advokasi, Hukum, Penelitian, dan Pengembangan Komisi Yudisial (KY) Binziad Kadafi, Senin (14/11/2022) mengatakan, bahwa KY dan pimpinan Mahkamah Agung (MA) akan membahas terkait pelibatan anggota TNI dalam pengamanan tambahan di gedung MA.

"Saya rasa kebijakan yang diambil oleh Mahkamah Agung terkait dengan pengamanan ini akan dipertimbangkan. Saya rasa ini juga mungkin akan kami jadikan materi pembahasan, kebetulan saya bergabung sebagai anggota dari tim penghubung Komisi Yudisial dan Mahkamah Agung," kata Binziad kepada wartawan melalui platform Zoom Meeting seperti dipantau di Jakarta, Senin.

Binziad meyakini pimpinan MA saat ini sangat terbuka dalam menerima masukan publik guna mengambil kebijakan. "Apalagi masukan yang belakangan ini muncul disampaikan terkait dengan kebijakan pengamanan ini, sudah relatif spesifik," tambahnya.

Dalam hal ini, lanjutnya, KY menilai isu pengamanan pengadilan, termasuk di MA, merupakan isu krusial. Menurut Binziad, lemahnya pengamanan terhadap pengadilan menjadi kesempatan terhadap tindakan-tindakan yang menyerang serta merendahkan martabat hakim.

Tahun ini saja, lanjutnya, KY sudah menangani hampir 15 peristiwa penyerangan terhadap pengadilan. Dia memprediksi angka kasus penyerangan tersebut bisa bertambah. Oleh karena itu, KY menilai sistem pengamanan yang baik perlu segera diterapkan di berbagai pengadilan.

"Dan saya rasa kriterianya itu sudah ditentukan secara cukup dan memadai dalam Perma (Peraturan MA) Nomor 5 dan Perma Nomor 6 Tahun 2020 tentang Protokol Persidangan dan Keamanan Dalam Lingkungan Peradilan," jelasnya.

Akan tetapi, Binziad mengatakan masih banyak pengadilan di tingkat pertama dan tingkat banding yang prosedur pengamanan masih belum memenuhi standar. "Karena rekrutmen petugas pengamanannya itu masih berasal dari kalangan pegawai outsource. Saya rasa, mungkin dengan dasar atau pertimbangan tersebut, kemudian berbagai langkah atau berbagai kebijakan coba diambil oleh pimpinan pengadilan dan terutama dalam hal ini pimpinan Mahkamah Agung," tambahnya

Sumber: republika.co.id