Catatan Redaksi
HARGA cabai merah merangkak naik di pasaran membuat masyarakat geleng-geleng kepala. Tak cuma bumbu dapur itu yang meroket. Harga bahan pokok lainnya juga ikut naik.
Lantas, apakah perekonomian masyarakat membaik pasca pemulihan ekonomi di masa pandemi?
Di pasar -pasar tradisional di Kota Siantar harga cabai merah tembus di angka Rp 100.000 per kilo pada Senin 13 Juni 2022. Tak cuma di Siantar, beberapa daerah di Indonesia juga mengalami hal serupa.
Sejauh ini persoalan naiknya harga cabai itu diketahui akibat imbas harga pupuk yang mahal. Mahalnya harga pupuk terpaksa membuat petani berpikir dua kali untuk menanam cabai, ditambah resiko merugi selalu ada di depan mata.
Salah seorang petani di Simalungun mengakui, mengurangi produksi tanaman cabai hingga memilih tanaman lain (yang lebih rendah resiko) adalah jalan terakhir mengantisipasi kerugian.
Begitupun, naiknya harga cabai ini tak jua menguntungkan petani secara finansial. Sebab modal untuk pertanian cabai butuh biaya besar, misal belanja pupuk hingga obat-obatan.
Dilain sisi situasi pasar saat ini begitu terbuka dan tak menentu arahnya. Sewaktu waktu harga cabai dapat naik turun dan tak terkendali.
Bayangkan jika tiba tiba pasokan cabai merah impor didatangkan hingga melebihi permintaan pasar. Kalau tidak ada kontrol, berpotensi harga cabai menurun drastis seketika.
Risiko pasar sedemikian kompleks ini justru pemerintah tak hadir untuk mengontrol stabilitas harga di pasaran.
Akibatnya, serangkaian imbas dari kenaikan harga ini menjalar ke sendi sendi perekonomian masyarakat kecil.
Daya beli masyarakat yang kian menurun terasa juga kepada pedagang kecil. Jualan mereka tak laku, roda perekonomian tak berjalan.
Mayoritas masyarakat berpenghasilan rendah tak mampu membendung kenaikan harga semacam ini.
Meski ada stimulus ekonomi dari pemerintah, rasanya tak sanggup menyirami kekeringan ekonomi masyarakat yang lesu. Justru akibat harga harga bahan pokok setiap hari merangkak naik, dibiarkan hingga mencekik leher. [*]