Oleh: Yulius Aris Widiantoro| Dosen pada beberapa Perguruan Tinggi
Paskah dan Idul Fitri yang kita rayakan secara berdekatan (April dan Mei) adalah momentum untuk kita merefleksikan keimanan kita di tengah pluralitas dan kondisi bangsa kita yang belum pulih akibat pandemi.
Kita sadari betul tahun 2020 hingga saat ini menjadi tahun terberat bagi kita melawan pandemi Covid-19 yang membuat emosi dan energi kita terkuras akibat banyaknya kehilangan yang dialami mulai dari pekerjaan, usaha yang sepi juga kehilangan orang-orang yang kita cintai belum lagi anjuran social distancing yang sejenak memaksa kita tercerabut dari kodratnya sebagai makhluk sosial.
Doa-doa kita penuh dengan permohonan supaya ‘cawan’ (musibah) ini segera dilakukan tetapi tampaknya Tuhan masih mengizinkannya ada bersama dengan kita sebagai suatu pembelajaran betapa berharga kehidupan.
Dalam beberapa kesempatan saya kerap kali berjumpa dengan beberapa orang dengan identitas keagamaan berbeda yang terperangkap dalam kepasrahan total dan menilai bahwa pandemi Covid 19 sebagai nasib buruk yang harus ditanggung.
Cara berpikir yang fatalistik tersimpan dalam obrolan sebagai respon atas situasi yang terjadi. Adelbert Snijders menegaskan bahwa dalam keadaan apapun seruan pada ‘Tuhan’ akan melahirkan dimensi baru yaitu dimensi metafisis, dimensi yang mengatasi pengalaman empirik dan deskriptif.
Baik Paskah maupun Idul Fitri keduanya adalah simbol kemenangan dan kembalinya manusia menjadi manusia baru (fitri). Sebagai pribadi yang telah mengalami kemenangan dan kembali fitri maka relasi kita dengan Tuhan dan sesama dipulihkan.
Bagi umat Kristen dan Katolik, Paskah yang dirayakan dalam suasana kecemasan akan masa depan akibat pandemi Covid-19. Pandemi yang terjadi di luar dugaan bukan hanya mengoyak kekinian (present) tetapi juga harapan (future).
Di hadapan pandemi kita semua tersadar betapa kita lemah. Kematian selalu mengintip dan seolah siap mencuri nafas yang Tuhan berikan pada kita. Dalam setiap penderitaan selalu tersimpan hal paradoks.
Di satu sisi penderitaan menguras energi dan emosi kita, hidup digerogoti rasa cemas. Tetapi di lain pihak penderitaan adalah cara Tuhan mendidik untuk pertumbuhan eksistensi.
Menurut Karl Jasper yang diperlukan manusia dalam menghadapi pelbagai krisis yaitu memiliki iman filosofis yaitu iman yang mampu melihat kebaikan dalam ketidakbaikan Sebagaimana dikutip oleh Hardono Hadi (1996: 177) bahwa kita berhutang atas eksistensi diri kita dan justru di dalam situasi ekstrim di mana bencana, wabah atau peristiwa buruk lainnya memampukan kita menghadapi pengalaman hakiki akan yang transenden.
Bagi saya iman filosofis lah yang mengantarkan manusia pada pengalaman otentik tentang yang transenden (Tuhan).
Bersyukur bahwa Tuhan menyapa dan menjumpai manusia bukan semata-mata untuk menyediakan harapan kehidupan di seberang sana melainkan ingin menjadi sahabat seperjalanan hidup manusia.
Tulisan Mans Werang di Opini Kompas tertanggal 26 Desember 2021 sangat inspiratif bahwa Tuhan memilih jalan kenosis untuk menjumpai manusia. Bagi Tuhan, perjumpaan dengan manusia dalam jalan kenosis adalah bentuk bela rasa Tuhan terhadap kebingungan manusia menjalani kehidupan.
Puncak bela rasa Tuhan, terwujud dalam peristiwa salib. Salib adalah simbol hukuman sekaligus pengharapan. Melalui salib hukuman telah direngkuhNya dan melalui salib pula terjadi rekonsiliasi.
Jumat Agung dan Paskah menjadi momentum bagi kita untuk menggemakan kepedulian bagi yang membutuhkan. Belarasa artinya kita menjadi sesama bagi orang lain (lih. Luk. 10:25-37).
Berbeda dengan Imam dan orang Lewi yang terjebak dalam egoisme spiritual, orang Samaria justru berhasil mengimplementasikan kemanusiaan Tuhan dengan menolong.
Di hadapan kita banyak orang menanti uluran tangan kita, dan Tuhan telah berbuat untuk menolong mereka dengan menciptakan kita, ambillah bagian dalam karya besar Tuhan untuk selalu berbela rasa dan menjadi sahabat perjalanan orang lain.
Menarik sekali apa yang ditulis oleh Adrianus Sunarko yang menggambarkan inkarnasi Yesus sebagai wujud kerelaan Tuhan ‘diintervensi’ oleh penderitaan manusia. Tuhan membuka pintu pengampunan bukan melalui kesalehan yang ritualistik melainkan dengan cara menyerap murka Allah pada manusia–dan ini adalah solidaritas.
Kristus meneladankan bela rasa kepada manusia, demikian seharusnya dengan kita, mengembangkan sikap tersebut kepada sesama. Lukas 10:25-37 menarasikan ‘sesamaku’ adalah ekspresi iman yang mendalam meskipun dilakukan oleh seorang Samaria. Namun nyatanya iman adalah gagasan yang beyond identity.
Sementara itu, Idul Fitri adalah momentum kesadaran manusia kembali kepada fitrah (menjadi suci).
Karena itu Idul Fitri selalu diwarnai rekatnya kembali silaturahmi melalui kerelaan maaf dan memaafkan. Kerelaan maaf dan memaafkan menjadi titik pijak pulihnya hubungan dengan Sang Khalik dan terjalinnya kembali relasi dengan sesama.
Jika kita sederhanakan, Idul Fitri adalah peristiwa pembebasan manusia dari reduksi eksistensi akibat tertimbun syahwat politik, keserakahan (gejala Konsumerisme) dan egosentris.
Hari-hari ini Indonesia menjadi ladang subur politik identitas, rentan konflik horizontal–ancaman disintegrasi. Ditambah iklim politik yang kurang sehat membuat kita hidup dalam prasangka satu sama lain.
Idul Fitri tidak berhenti sebatas memaafkan masa lalu melainkan juga sebagai komitmen untuk menyudahi segala hal buruk yang dapat melukai orang lain di masa mendatang. Idul Fitri adalah titik kulminasi religiusitas seseorang setelah melewati masa panjangan kontemplasi melalui puasa (Ramadhan), karena itu jangan rusak sakralitas Idul Fitri dengan menarasikan kebencian pada the others.
Bagi kita umat beragama kesadaran memahami sesama adalah puncak iman karena mampu merefleksikan iman yang personal dalam kehidupan sosial. Ini sesuai dengan apa yang dijelaskan Levinas dengan ‘wajah orang lain’ memiliki pengalaman transendensi.
Seseorang yang mampu berbela rasa adalah mereka yang mampu mengubah momen wacana teoritis menjadi momen etis. Paskah maupun Idul Fitri adalah momentum untuk kita menjumpai sesama dengan menyapa dan berempati pada nasib orang lain. Jangan biasakan rasa kemanusiaan yang telah dikebiri dalam sikap eksklusif.
Dari uraian di atas, kita dapat simpulkan bahwa titik ekuilibrium Paskah maupun Idul Fitri pada adalah kebebasan sebagai penegasan tentang ke-menjadi-an hidup: Eksistensi manusia terikat dalam kesalingbeluman.
Artinya eksistensi kita tak pernah selesai, eksistensi selalu mengandung berbagai kemungkinan. Seorang pemikir bernama Karl Jasper menyatakan bahwa manusia dihimpit dengan segala macam keterbatasan baik pikiran maupun situasi dan kesemuanya itu membuat kita terbatas dalam banyak hal.
Karena itu perjalanan manusia dalam memahami eksistensinya memerlukan relasi dengan yang transenden (Yang Ilahi) yaitu Tuhan.
Komentar