JAKARTA, HETANEWS.com - Ketua Bidang Hukum Pembelaan dan Pembinaan Anggota (BHP2A) Ikatan Dokter Indonesia (IDI), Beni Satria, tak mempermasalahkan jika pemerintah melakukan revisi Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran, khususnya Pasal 38 terkait rekomendasi organisasi profesi sebagai syarat surat izin praktik (SIP).
Namun, Beni kemudian menanyakan siapa pihak yang dapat memverifikasi seorang dokter baik atau tidak dalam melayani masyarakat.
"Silakan pemerintah mau menghapus (rekomendasi organisasi profesi) karena kewenangan pemerintah merevisi atau mencabut UU, tapi saya sampaikan dengan menghapus rekomendasi ini, siapa nanti yang akan memverifikasi (dokter itu baik). Silakan kecuali pemerintah punya badan itu," kata Beni dalam konferensi pers secara virtual, Jumat (1/4/2022).
Beni mengatakan, IDI tidak hanya bertugas memberikan rekomendasi izin praktik kepada dokter, tetapi juga memberikan pembinaan etik.
Ia mengatakan, jika rekomendasi organisasi profesi tersebut dihapus, siapa yang akan bertanggung jawab bila dokter yang berada di tengah masyarakat tidak memiliki kaidah etik yang baik.
"Kalau IDI, tentu bertanggung jawab kalau dokter yang melayani masyarakat melanggar etik, pembinaan etik akan dilakukan," ujarnya.
Sebelumnya diberitakan, Menteri Hukum dan HAM, Yasonna Laoly, mengusulkan agar izin praktik dokter sebaiknya menjadi domain negara, bukan IDI.
Yasonna mengatakan, usulan itu dia sampaikan tak lepas dari keputusan IDI memberhentikan mantan Menteri Kesehatan Terawan Agus Putranto dari keanggotaan IDI.
"Pascakeputusan IDI itu, saya kira perlulah izin praktik itu menjadi domain negara saja ketimbang dikasih kepada satu organisasi profesi," kata Yasonna di Kompleks Parlemen, Jakarta, kemarin.
Yasonna berpendapat, IDI sebagai organisasi profesi dokter semestinya fokus pada penguatan dan perbaikan kualitas dokter Indonesia.
Dia lalu menyoroti banyaknya warga Indonesia yang memilih berobat ke Singapura atau Malaysia ketimbang di Indonesia. Dampaknya, banyak devisa yang malah masuk ke negara tetangga itu.
"Di Sumatera Utara misalnya, orang mengapa lebih senang berobat ke Penang. Kalau di Sumatera Utara ke Penang, kalau dari Riau ke Malaka, triliun (rupiah) habis. Kalau orang Jakarta masuk ke Singapura, ya kan?" ujar dia.
Menurut Yasonna, dokter-dokter yang berpraktik di negeri jiran tersebut sebetulnya banyak yang menempuh pendidikan sarjana di Indonesia lalu melanjutkan pendidikan di luar negeri.
Ia menilai, hal itu disebabkan perizinan praktik dokter di Malaysia dan Singapura lebih mudah didapat dibandingkan di Indonesia.
"Seharusnya IDI lebih melihat soal-soal yang begitu sehingga SDM (sumber daya manusia) anak-anak Indonesia yang sekolah di luar itu bisa lebih cepat bisa dikaryakan, tidak terjadi penghalangan dalam persaingan profesi," kata politikus PDI-P tersebut.
Yasonna menyatakan akan mempertimbangkan revisi Undang-Undang Praktik Kedokteran maupun Undang-Undang Pendidikan Kedokteran untuk mewujudkan hal itu.
"Anyway, nanti kita lihat lebih mendalam ya soal itu," kata dia.
Sumber: kompas.com