SIANTAR,HETANEWS.com - Cornel Simanjuntak adalah seorang pencipta lagu-lagu heroik dan patriotik Indonesia. Ia dianggap sebagai tokoh yang membawa bibit unggul perkembangan musik Indonesia.
Cornel Simanjuntak lahir di Pematangsiantar tahun 1921 menganut agama protestan dari keluarga pensiun polisi kolonial.
Dulu keluarga Cornel membesarkannya dan mereka ingin ia mengangkat derajat keluarganya sebagai guru.
Ia pun berangkat ke Medan untuk menempuh pendidikannya dan melanjutkan perjalanannya dengan menaiki kapal menuju Jawa.
Pada saat usia 16 tahun, Cornel pun menempuh Pendidikan di HIS St. Fransiscus (Medan) dan lulus pada 1937.
Ia melanjutkan pendidikannya di sekolah HIK Xaverius College Muntilan, Jawa Tengah pada tahun 1942 yang sekarang namanya berubah menjadi SMA Pangudi Luhur Van Lith.
Setelah itu, ia pun berangkat ke Magelang dan menjadi guru hanya beberapa bulan. Lalu ia pun pindah ke Jakarta dan menjadi guru SD Van Lith.
Tetapi ia juga mempunyai bakat di bidang musik dan memperdalam seni musiknya di sekolah, selain itu ia juga komponis andal sekaligus perjuangan.
Lalu ia pun beralih profesi ke Kantor Kebudayaan Jepang, Keimin Bunka Shidosho. Disanalah ia menciptakan lagu propaganda Jepang antara lain: Menanam Kapas, Bikin Kapal, Menabung dan yang paling populer diantaranya berjudul “Hancurkanlah Musuh Kita”.
Guru musiknya adalah Pater J. Schouten dan Ray serta juga mendiang Sudjasmin.
Karena itulah ia sempat dicurigai sebagai kolaborator Jepang.
Cornel juga memiliki beberapa pengalaman berperang, pada masa revolusi tahun 1946-1946 ia dikirimkan ke Jakarta dan disitulah ia berperang melawan tentara penjajah.
Malangnya, dalam sebuah pertempuran di daerah Senen-Tangsi Penggorengan Jakarta, bokongnya tertembak oleh penjajah.
Lalu ia dilarikan ke Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, belum sembuh total ia pun di pergi ke Karawang dan dari sana ia berangkat ke Yogyakarta.
Di Yogyakarta lah ia menciptakan beberapa lagu-lagu heroik dan patriotik, antara lain : Tanah Tumpah Darah, Maju Tak Gentar, Pada Pahlawan, Teguh Kukuh Berlapis Baja, Indonesia Tetap Merdeka.
Dikutip dari Kompas.TV, kondisi tubuh Cornel semakin melemah karena peluru yang ada di tubuhnya masih tersarang dan ia juga menderita penyakit TBC hingga dirawat di sanatorium di Pakem, Yogyakarta.
Jelang akhir hayatnya Cornel masih sempat bertelepon untuk menyampaikan pesan entah kepada siapa dan entah pesan apa, tapi ia keburu jatuh, mata dan mulutnya menjadi kaku.
Pada tanggal 15 September 1946 Cornel meninggal dunia di Sanatorium Pakem, Yogyakarta, dalam status perjaka, dan dimakamkan di Pemakaman Kerkof Yogyakarta.
Makam pahlawan
Pemindahan Cornel ke Taman Makam Pahlawan sebenarnya sudah diusulkan sejak September 1978. Hampir saja merepotkan, karena beberapa instansi meminta data-data berupa bintang jasa yang ada.
Ternyata Cornel tidak sebiji pun mengantongi persyaratan itu. Ia hanya mewariskan tanda kehormatan Piagam Satya Lencana Kebudayaan yang dianugerahkan tahun 1961 oleh Pemerintah Indonesia.
Letkol Suharsono S., Dandim 0734 Yogya, menganggap Satya Lencana itu setingkat dengan Bintang Gerilya atau bintang-gemintang lainnya. Jadi bisa dipakai sebagai tiket masuk Makam Pahlawan, asal ada izin keluarga.
Selama itu lagu-lagu mendiang berkumandang terus-menerus dibawakan oleh Paduan Suara Bocah Bocah Sasana Vokalia.
Serentetan tembakan salvo mendampingi prosesi ketika sisa-sisa tubuh Cornel Simanjuntak dalam liang lahat yang lebih terhormat di Taman Makam Pahlawan Semaki di kota yang sama.
Hari itu, 10 Nopember 1978, Yogya mengenang kembali komponis pejuang itu. “Gugur sebagai seniman dan prajurit tanah air,” demikian kalimat di batu nisan Cornel Simanjuntak.
Penulis : Chelsea ipo Sirait
Baca juga: Kenali Pola Hidup Vegan, Ini Manfaatnya