Catatan Redaksi

Program vaksinasi massal di Kota Siantar tertunda penyelenggaraanya ditengah kebutuhan vaksin kian mendesak. Pemerintah kota tak boleh tinggal diam apalagi menyerah dengan keadaan.

Saat ini, program vaksinasi yang diselenggarakan lembaga maupun pemerintah kota ditunggu tunggu oleh warganya. Banyak pula warga yang mempertanyakan vaksinasi tahap kedua yang belum jelas rimbanya.

Kepala Dinas Kesehatan Kota Siantar, dr Ronald Saragih yang diwawancarai via telepon beberapa waktu lalu mengatakan, penyebabnya tak lain karena stok vaksin kosong.

Namun, jika dicermati dengan seksama, ketersedian vaksin tak melulu menjadi alasan utama . Apalagi saat ini kita tahu jumlah vaksin yang datang dari bantuan luar negeri ke Indonesia tidak sedikit.

Di Kota Siantar, penyelenggaraan vaksinasi massal oleh pemerintah kota patut diapresiasi. Apalagi mendapat dukungan penuh dari kalangan penggiat komunitas sosial sebagai barisan terdepan mensukseskan kegiatan.

Walaupun target vaksinasi massal itu belum mencapai di garis finish, ribuan warga yang datang kesana memberi penilaian puas dan tak sedikit yang komplain karena tak dapat kesempatan.

Tulisan ini sebetulnya bukan mengoreksi capaian pemerintah kota yang sedang berjuang memenuhi Herd Immunity warganya. Apalagi menyoroti ketimpangan soal siapa warga yang paling berhak menerima vaksin atau siapa yang perlu didahulukan.

Sebaliknya, ini kesempatan mendorong pemerintah kota agar membuka diri seluas luasnya, mencari solusi dan tidak pasrah dengan keadaan.

Pemerintah kota perlu memberi kesempatan kepada kelompok masyarakat yang bersedia menyelenggarakan program vaksinasi. Misalnya saja memulai program vaksinasi secara gotong royong.

Yang dimaksud disini, pemerintah baik instansi maupun lembaga dan para pengusaha harus ambil andil agar program vaksinasi untuk warga Siantar dapat dimulai dan mengejar ketertinggalan.

Memang tidak dapat dipungkiri, menggelar hajatan vaksinasi semacam ini tak semudah yang dipikirkan. Ada banyak hal yang tidak bisa lepas begitu saja. Salah satunya adalah ketersedian anggaran.

Misalnya saja, jika jatah vaksin tersedia 10.000 vial untuk warga Kota Siantar namun biaya untuk mendatangkan vaksin tersebut tidak ada, maka yang terjadi vaksinasi batal.

Sebaliknya, jika vaksin tersebut sudah di drop, namun tempat, sarana hingga tenaga medis dan APD tidak lengkap, maka penyelenggara vaksinasi ini pun bisa gagal.

Di titik ini, peran pengusaha penting untuk membantu pemerintah dan upaya mereka menambal anggaran yang tidak tersedia.

Gambaran pelaksanaan vaksinasi yang dipelopori oleh kelompok sosial masyarakat dan menggandeng pengusaha semacam ini, belum pernah terjadi di Kota Siantar.

Kesempatan itu akan semakin tertutup, saat kita menyadari betapa besar konsentrasi vaksinasi nasional yang saat ini hanya terpusat di wilayah Jawa-Bali. Dengan begitu, warga Siantar pun sulit mencapai garis finish Herd Immunity.