Siantar, Hetanews.com - Undang-Undang tentang cagar budaya seharusnya dapat mengatur untuk menggali, mengonservasi dan memanfaatkan cagar budaya itu sendiri.

Namun, bicara cagar budaya tentunya bukan perkara mudah terutama yang berkaitan dengan kepemilikan perorangan karena berkaitan dengan kepentingan ekonomi.

"Kita sebenarnya banyak benda cagar budaya yang harus dilindungi misalnya kapal keruk. Kapal keruk itu sudah dilakukan kajian tapi akhirnya hanya berorientasi pada pemanfaatan ekonomi, barang itu dijual," ujarnya kepada posbelitung seperti dikutip redaksi hetanews pada Senin (12/10/2020).

ilustrasi kapal keruk

Ia mencontohkan beberapa bangunan cagar budaya yang sering terkendala kepemilikan pribadi, seperti gudang Handel Maatschappy dan Borneo Sumatera di sekitar area pelabuhan, sekolah Tian Shin dan rumah Kapiten Pang.

Oleh sebab itu, pemda hanya bisa memasang pelang dan tidak bisa memanfaatkannya.

Padahal menurutnya bangunan cagar budaya akan mengajarkan dari sisi sejarah untuk kepentingan masa depan.

gudang handel maatschapp3

"Misalnya gudang Borneo Sumatera itu manandakan potensi lada Belitung tapi Kalimantan bersama Palembangmampu mengendalikan harga lada Belitung. Kalau sampai saat ini harga lada masih dikendalikan, berarti kita tidak belajar dari sejarah bagunan Borneo itu," jelasnya.

Oleh sebab itu, Fithro menyarankan agar pemda menyiapkan konsep yang jelas untuk pemanfaatan bangunan cagar budaya.

Jika konsepnya jelas, secara otomatis akan menimbulkan ketertarikan bagi pemilik aset tersebut. Setidaknya terdapat narasi dari sisa bangunan tersebut sebagai bentuk edukasi.

Meskipun demikian, kata dia, apapun rencana pemda pada intinya dibutuhkan pemahaman bersama. Dalam artian cagar budaya tidak hanya kewenangan Dinas Pendidikan dan Kebudayaan tetapi juga OPD lain beserta masyarakat.

"Karena sejarah itu bukan hanya mengajarkan pengetahuan tetapi juga pemahaman. Kalau kita belum sepahamam maka akan sulit menentukan langkah," tutupnya.